Selasa, 30 September 2014

ELIMINASI URINE



                                ELIMINASI URINE*
                                                             
                Eliminasi urine merupakan fungsi dasar yang seringkali dianggap remeh oleh masyarakat pada umumnya. Jika sistem perkemihan terganggu, maka akan mempengaruhi pada sistem organ lainnya. Seseorang dengan perubahan eliminasi urine dapat menderita emosial yang disebabkan perubahan citra tubuhnya (Potter & Perry,2005:1679).

v  Fisiologi Eliminasi Urine
Eliminasi urine bergantung pada fungsi-fungsi organ berikut ini:
1.   Ginjal, adalah sepasang organ yang bentuknya menyerupai kacang buncis dengan warna coklat kemerahan, yang berada pada kedua sisi kolumna vertebralis posterior terhadap peritoneum serta terletak di bagian dalam otot punggung. Produk buangan yang adalah hasil metabolisme di kumpul di dalam darah dan difiltrasi di ginjal. Setiap ginjal terdapat 1 juta nefron. Darah masuk melalui arteriola aferen menuju nefron. Sekumpulan pembuluh darah ini akan membentuk jaringan yaitu kapiler glomerulus, sebagai tempat awal filtrasi darah sertatempat pertama pembentukan urine. Ginjal menghasilkan hormon-hormon penting yang berfungsi memproduksi sel darah merah, mengatur tekanan darah, serta mineralisasi tulang. Selain itu, ginjal juga memproduksi eritropoietin dan renin. Eritropoietin merupakan hormon utama yang dilepaskan sel-sel glomerulus khusus, yang mampu merasakan turunnya oksigenasi pada sel darah merah. Sedangkan, renin ialah hormon yang mengatur aliran darah ketika terjadi iskemia ginjal serta sebagai enzim yang menyebabkan angiotensinogen berubah menjadi angiotensin I. Ginjal juga mengambil peran penting dalam mengatur kalsium dan fosfat (Potter & Perry,2005:1679).
2.    Ureter, bergabung dengan pelvis renalis sebagai jalur utama pembuangan urine. Urine keluar dari tubulus dan masuk ke duktus pengumpul yang mentranspor urinemenuju pelvis renalis. Lapisan luar ureter ialah jaringan penyambung fibrosa sebagai penyokong ureter. Gerakan peristaltis mengakibatkan urine masuk ke kandung kemih dalam wujud semburan, tidak dalam wujud aliran yang konsisten (Potter & Perry,2005:1680).
3.    Kandung kemih, adalah organ cekung yang mampu  berdistensi yang disusun atas jaringan otot sebagai wadah urine dan sebagai organ ekskresi. Kandung kemih mampu menampung kurang lebih 600 ml urine, meskipun pengeluaran urine normal yaitu sekitar 300 ml. Saat keadan penuh, kandung kemih akan membesar dan melebar hingga atas simfisis pubis. Dinding kandung kemih terdapat 3 lapisan: lapisan mukosa, lapisan submukosa, lapisan otot, dan lapisan serosa (Potter & Perry,2005:1681).
4.  Uretra, merupkan jalur keluarnya urine dari kandung kemih, sedangkan urine keluar dari tubuh melewati meatus uretra. Pada wanita, panjang uretra  sekitar 4-6,5 cm. Sedangkan pada pria berfungsi sebagai saluran perkemihan serta jalan keluar sel sekaligus sekresi organ produksi, dengan panjang 20 cm. meatus urinarus pada wanita terletak antara labia minora, di bawah klitoris dan di atas vagina. Sebagai meatus pada pria terletak di ujung distal penis (Potter & Perry,2005:1681).
5.  Kerja perkemihan. Ketika berkemih, siklus yang terjadi adalah kontraksi kandung kemih serta relaksasi otot panggul di dasar panggul yang telah terkoordinasi. Ketika seseorang menahan untuk berkemih, maka sfingter urinarius berkontraksi dan refleks mikturisi dihambat. Sedangkan, apabila seseorang siap untuk berkemih, sfingter eksterna berelaksasi, otot detrusor distimulasi oleh refleks mikturisi untuk berkontraksi mengakibatkan pengosongan kandung kemih secara efisien (Potter & Perry,2005:1681).

v  Faktor yang Mempengaruhi Urinisasi
1  Pertumbuhan dan perkembangan. Bayi dan anak kecil belum bisa memekatkan urine mereka secara efektif. BB anak kecil sekitar 10% BB orang dewasa, namun mengekskresi urine 33% lebih banyak banyak dibandingkan orang dewasa. Seorang anak akan mampu mengontrol mikturisi itu sendiri secara volunter pada usia 18-24 bulan. Orang dewasa akan mengekskresikan urine 1500 hingga 1600 ml per hari dalam kondisi normal. Proses penuaaan akan mengganggu mikturisi dan terjadinya perubahan fungsi ginjal serta kandung kemih (Potter & Perry,2005:1682).
2.  Faktor sosiokultura. Adat istiadat mengenai privasi berkemih  terkadang berbeda-beda. Misalnya masyarakat AS yang memandang fasilitas toilet merupakan hal yang pribadi, sedangkan beberapa budaya Eropa menganggap fasilitas toilet dapat digunakan bersama-sama. Pendekatan keperawatan pada kebutuhan eliminasi klien wajib mempertimbangkan aspek budaya serta kebiasaan sosial klien (Potter & Perry,2005:1683).
3.  Faktor psikologi. Ansietas serta stress emosional mampu menimbulkan dorongan dalam berkemih serta frekuensi berkemih meningkat. Ansietas juga bisa membuat individu tidak dapat berkemih hingga tuntas (Potter & Perry,2005:1683).
4.   Kebiasaan pribadi. Kebanyakan individu menganggap privasi serta waktu yang adekuat dalam berkemih itu penting. Beberapa individu terkadang memerlukan distraksi (contonya membaca) untuk rileks (Potter & Perry,2005:1684).
5.   Tonus otot. Lemahnya otot dasar panggul dan otot abdomen dapat merusak kontrol sfingter pada uretra eksterna dan merusak kontraksi kandung kemih. Drainase urine yang berkepanjangan melalui kateter menetap mengakibatkan hilangnya tonus pada kandung kemih dan kerusakan sfingter uretra (Potter & Perry,2005:1684).
6.  Status volume. Ginjal mempertahankan keseimbangan yang sensitif antara ekskresi dan retensi cairan. Jumlah haluaran urine dapat bervariasi sesuai asupan makanan serta cairan (Potter & Perry,2005:1684).
7.    Kondisi penyakit. Beberapa penyakit mampu mempengaruhi kemampuan dalam berkemih. Penyakit yang menghambat atau memperlambat aktifitas fisik dapat mengganggu kemampuan berkemih (Potter & Perry,2005:1684).
8.    Prosedur bedah. Stress pembedahan awalnya dapat memicu sindrom adaptasi yang umum. Misalnya, pembedahan pada srtuktur panggul serta abdomenbagian bawah mampu merusakkan urinisasi yang disebabkan trauma lokal jaringan sekitar (Potter & Perry,2005:1685).
9.     Obat-obatan. Klien yang telah mengalamai perubahan fungsi ginjal memerlukan penyesuaian terhadap dosis obat yang akan disekresi oleh ginjal (Potter & Perry,2005:1685). 
10. Pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan sistem perkemihan akan mempengaruhi proses berkemih (Potter & Perry,2005:1686).

v  Perubahan dalam Eliminasi Urine
1.  Retensi urine, merupakan akumulasi urine dalam kandung kemih karena ketidakmampuan melakukan pengosongan kandung kemih (Potter & Perry,2005:1686).
2.  Infeksi saluran kemih bagian bawah, merupakan infeksi yang sering dijumpai di rumah sakit di Amerika Serikat. Penyebabnya ialah dimasukkannya alat ke dalam saluran kemih, contohnya pemasangan kateter ataupun kurangnya kebersihan perineum pada wanita (Potter & Perry,2005:1686).
3.   Inkontinensia urine, adalah hilangnya kontrol berkemih, yang dapat bersifat menetap atau sementara (Potter & Perry,2005:1688).
4.  Diversi urinarius, yaitu keadaan dimana klien harus mengenakan peralatan buatan sebagai tempat untuk pengumpulan urine serta klien harus mengetahui cara penatalaksanaannya (Potter & Perry,2005:1689).

v  Proses Keperawatan untuk Masalah Urinarius
·         Pengkajian
Dalam melakukan identifikasi masalah eliminasi urine serta pengumpulan data guna penyusunan asuhan keperawatan (Potter & Perry,2005:1689), seorang perawat harus melakukan beberapa pengkajian meliputi:
1. Riwayat keperawatan, seperti pola perkemihan, gejala perubahan perkemihan, serta  faktor yang akan mempengaruhi perkemihan.
2.      Pengkajian fisik, seperti kulit, ginjal, kandung kemih, dan meatus uretra.
3.   Pengkajian urine, seperti asupan dan haluaran, karakteristik urine, serta pemeriksaan urine.
·         Diagnosa Keperawatan
Diagnosis memiliki fokus pada perubahan yang terjadi saat eliminasi urine dan masalah-masalah yang terkait, seperti rusaknya integritas kulit yang berkaitan dengan inkontinensia urine. Identifikasi karakteristik merupakan penentu untuk mengarahkan perawat dalam mengambil keputusan melakukan diagnosis yang tepat (Potter & Perry,2005:1704).
·         Perencanaan
Untuk mengembangkan sebuah rencana keperawatan, perawat harus menetapkan tujuan serta hasil akhir untuk setiap diagnosis. Perawat juga merencanakan sebuah terapi sesuai tingkat keparahan risiko yang dialami klien. Merencanakan asuhan keperawatan akan melibatkan suatu pemahaman mengenai kebutuhan klien dalam mengontrol fungsi tubuhnya. Perencanaan keperawatan untuk klien yang dirawat di sebuah rumah sakit harus mencakup perencanaan pulang (Potter & Perry,2005:1705).
·         Implementasi
Implementasi adalah fase tindakan pada proses keperawatan. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, aktivitas mandiri yang merupakan aktivitas saat perawat menentukan keputusannya sendiri, serta aktivitas kolaboratif yang merupakan aktivitas-aktivitas yang telah diprogramkan oleh dokter serta dilaksanakan oleh perawat, contohnya pemberian obat (Potter & Perry,2005:1707).

Ø  Peningkatan Kesehatan
Fokus peningkatan kesehatan ialah upaya membantu klien memahami serta berperan aktif dalam praktik perawatan pada diri sendiri untuk memelihara dan melindungi fungsi sistem perkemihan yang sehat (Potter & Perry,2005:1707). Fokus ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
·         Penyuluhan Klien
Keberhasilan terapi untuk menghilangkan atau meminimalkan suatu masalah eliminasi urine, beberapa bergantung pada keberhasilan memberikan penyuluhan terhadap klien. Perawat dapat melakukan penyuluhan dengan mudah ketika memberikan asuhan keperawatan (Potter & Perry,2005:1707).
·         Meningkatkan Perkemihan Normal
Mempertahankan eliminasi yang normal akan membantu mencegah adanya masalah perkemihan. Perawat dapat menerapkan beberapa tindakan secara mandiri, seperti menstimulasi refleks berkemih, mempertahankan kebiasaan eliminasi, serta mempertahankan asupan cairan secara adekuat (Potter & Perry, 2005:1708).
·         Meningkatkan Pengosongan pada Kandung Kemih secara Lengkap
Saat kondisi normal, urine dalam jumlah kecil akan tersisa dalam kandung kemih karena sfingter pada kandung kemih menutup. Seseorang secara normal tetap bisa mengontrol pengeluaran urine serta tetap berkeringat (Potter & Perry,2005:1709).
·         Pencegahan Infeksi
Salah satu yang menjadi pertimbangan penting untuk klien yang menderita perubahan perkemihan adalah kebutuhan dalam mencegah infeksi di sistem perkemihannya. Salah satu caranya ialah dengan mengasamkan urine (Potter & Perry,2005:1709).

Ø  Perawatan Akut
·         Mempertahankan Kebiasaan Eliminasi
Penundaan untuk membantu klien menuju kamar mandi mampu mengganggu proses berkemih yang normal serta menyebabkan inkontinensia. Privasi juga penting dalam berkemih normal, misalnya anak kecil sering tidak dapat berkemih jika ada orang lain selain orang tuanya. Apabila klien menggunakan tindakan yang khusus dalam berkemih, seorang perawat harus mengupayakan penggunaan tindakan tersebut di rumah dan, jika bisa, di institusi (Potter & Perry,2005:1710).
·         Obat-obatan
Terapi obat-obatan yang diterapkan secara tersendiri maupun bersamaan dengan terapi lainnya mampu membantu mengatasi  inkontinensia (Potter & Perry,2005:1710).
·         Kateterisasi
Kateterisasi pada kandung kemih dilakukan dengan cara memasukkan selang plastik ataupun karet melewati uretra menuju kandung kemih.kateter memungkinkan urine mengalir secara berkelanjutan untuk klien yang tidak bisa mengontrol perkemihan atau pada klien yang menderita obstruksi (Potter & Perry,2005:1710).
·         Pencegahan Infeksi
Klien yang melakukan kateterisasi dapat mengalami infeksi dengan berbagai cara. Ada beberapa cara mencegah infeksi untuk pasien yang dikateterisasi, yaitu irigasi serta instilasi kateter, melepaskan kateter menetap, dan alternatif dalam kateterisasi uretra (Potter & Perry,2005:1721).

Ø  Perawatan Restorasi
Klien bisa mendapatkan kembali fungsi perkemihan secara normal dengan melakukan aktivitas khusus, seperti melatih kandung kemih dan melatih kebiasaan berkemih (Potter & Perry,2005:1729). Dapat pula melakukan cara-cara berikut ini:
1.       Menguatkan otot pada dasar panggul
2.       Bladder retraining
3.       Melatih kebiasaan berkemih
4.       Kateterisasi mandiri
5.       Mempertahankan integritas kulit
6.       Peningkatan rasa nyaman

·         Evaluasi
Untuk mengevaluasi sebuah hasil akhir serta respon klien pada asuhan keperawatan, seorang perawat mengukur keefektifan seluruh intervensi. Perawat mengumpulkan data-data klien yang berkaitan dengan pola perkemihan, risiko mengalami perubahan dalam saluran urinarius, serta kondisi fisik. Intervensi keperawatan akan meningkatkan perkemihan normal serta memberi dukungan terhadap klien yang tidak dapat mempertahankan kontrol berkemihnya. Upaya dalam memberikan perawatan kepada klien yang berkualitas adalah tujuan utama dan terpenting dalam profesi keperawatan (Potter & Perry,2005:1735).


*Catatan: Diringkas oleh Eunike Ayu Darmawati dari buku Potter, P.A. & Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, Vol. 2 E/4. Alih bahasa oleh Renata Komalasari, Dian Evriyani, Enie Novieastari, Afrina Hany & Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC. (halaman 1679-1735).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...